Terminal Aşti


24/04/2020
Zeus - Athena
Apa yang kamu pikirkan ketika berada di terminal bus ini? 
Suara dalam Ankaraybir sonraki istasyon …. “ yang terngiang di telinga ? 
Perasaan dag dig dug karena sudah buat janji temu tapi masih belum siap ? 
Bakso dan makanan Indonesia yang siap membuatmu rindu dengan kampung halaman? 
Atau bahkan memikirkan perpisahan dengan seseorang yang bahkan bertemu sebulan sekali pun ngga mungkin?

Berangkat pukul tiga pagi sendirian, tapi pikiranku jauh sudah sampai duluan di Ankara. Turun dari bus, aku tiba di peron 137. Terdiam. Memperhatikan laki-laki yang tak pernah absen dalam setiap acara kemahasiswaan, tapi terlalu payah untuk sekedar menghapal rute transportasi di Ankara. Paling tidak, ia harusnya tahu cara sampai ke Kızılay

Kızılay itu seperti jantung kota Ankara. Sangat cocok untuk orang yang tidak nyaman dengan sepi dan sendiri, seperti aku. Ia adalah titik temu untuk sebuah janji temu.

 “Ikuti aku.”

Perkataan singkat yang bahkan tidak memberikannya kesempatan untuk sekedar bertanya, “Maaf, dengan siapa?”. Meski tidak tau itu siapa, ia tetap mengekori aku yang merasa lebih jago menakhlukan Ankara.

Duduk dalam Ankaray, aku sengaja menciptakan dunia sendiri sambil mengetik di laptop dengan tenang, sedangkan laki-laki itu entah apa yang dipikirkannya, sesekali kita berakhir saling tatap dalam diam. Bahkan ketika sampai tujuan pun, kami hanya melambaikan tangan. Berpisah begitu saja. Kamu pergi bergabung dengan teman-temanmu. Sedangkan aku bergabung bersama kesibukan yang membuatku lupa makan pagi.

Malam itu rasanya aku ingin menangis saja. Lengkap sudah alasan untuk benci kepada makhluk semesta yang tidak punya rasa simpati. Rasa kesal ini memisahkan jiwa dengan tubuhku dan menerbangkannya ke antah berantah. Sampai aku lupa dengan koper yang kutaruh di dalam bus. Harusnya kutaruh saja sekalian rasa marah itu di sana, supaya dibawa pergi.

Tidak ada yang tidak mencari alasan untuk menolong karena mereka harus pergi mengejar bus, kecuali laki-laki yang payah membaca rute itu. Ia turun tanpa banyak alasan. Berangkat berdua, mengejar bus nomor 185. Lari berdua. Dan teriak-teriak berdua. Sampai akhirnya bus itu berhenti.

“Terima kasih, ya.”
“Santai. Oiya, aku Zeus."
“Aku Athena."

Dan lagi kita berpisah begitu saja. Tanpa meninggalkan sesuatu untuk dikenang selain kejadian mengejar bus. Karena kita berdua tau posisi kita.

Setiap pergi ke Ankara, aku selalu bertemu dia di Terminal Aşti. Padahal tidak pernah buat janji temu, bahkan kontak saja tidak saling simpan. Tanpa diberitahu ada dimana, kakiku berjalan saja dengan sendirinya ke peron 137. Disambut dengan wajahnya yang selalu tersenyum hangat, matanya yang selalu berbinar-binar menceritakan kisah hidup sambil menunggu Ankaray datang, dan aroma kue Bademli Mekik dari Zerdali miliknya yang tidak pernah lupa dibawa setiap pulang. Sepertinya semesta lah biang ini semua.

Lucu rasanya, tiket pulang yang sudah dibeli sebelumnya beberapa kali diganti jamnya hanya demi waktu bersama yang bisa didapat beberapa bulan sekali. Hari ini, kami berdua kabur dari sesaknya wisma untuk membaur bersama hiruk pikuk kota Ankara.

“Mari berkelana, silahkan pilih mau kemana, akan kukabulkan.” Ajakku.
“Kemana saja asal bersamamu.” Ujar Zeus.

Kami menjelajah sudut-sudut Ankara yang hanya bisa diraih dengan kaki kecilku dan bus kota. Kemudian berakhir lagi di Aşti, sengaja mengambil jam dini hari berharap agar tidak bertemu siapa pun yang dikenal. Malam itu, kita duduk berhadapan dan diam. Mendengarkan percakapan seorang pasangan yang harus pisah karena laki-laki itu sibuk dengan game-nya. Berusaha menahan tawa yang akhirnya pecah juga ketika pasangan itu saling pergi.

Kita berbicara perihal pergi dan pulang. Perihal jarak antara sekarang dan esok. Perihal kamu dan aku yang menjadi kita. Zeus bilang ia ingin sekali menawarkan pundaknya ketika aku tertidur dengan menyandarkan kepala ke koper. Aku bilang padanya aku ingin sekali melamar menjadi penunjuk arah agar tak usah khawatir ia tersesat ketika bepergian.

443 kilometer jika diukur menggunakan google maps. Tapi, kita sepakat bahwa jarak itu tidak ada sebenarnya. Karena pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan itu sendiri. Mungkin kelak aku akan menagih arsip percakapan ketika tak lagi ditemukannya kita di peron 137, pada dinding yang menjadi saksi mati para manusia yang pergi dan tak kembali, yang hanya singgah sebentar, atau pun manusia yang pergi untuk kembali. Aku bingung kita yang mana. Kembali untuk bersama sementara, mungkin?

Jika masih tak ditemukannya kita di sana, akan kutanyakan kepada penjual kopi keliling yang selalu bertanya “Kalian itu apa, sih?” ketika kita membeli kopinya, dan kamu membisikan jawaban yang aku tidak pernah tau itu apa, tapi akan kutanyakan nanti jika perlu.

Atau kepada penjaga pintu yang sering berbicara denganmu ketika kutinggal sebentar, tapi kalau perlu akan kutanyakan cerita apa saja yang telah kamu bagi. Iya, keperluan rindu yang sulit untuk ditahan tanpa dibelenggu pertanyaan. Kapan akan bertemu? Dan kenapa tak kunjung bertemu?

Mungkinkah di hari baik nanti kita bisa pulang dengan satu tujuan yang sama? Supaya ketika kita berbincang hari panjang mendatang, perpisahan tak lagi membayang. Demikian kamu dan aku yang sedang diajari sabar menahan rindu. Diajari ikhlasnya merelakan satu sama lain, yang bahkan kita tidak pernah tahu hafal atau tidaknya jalan pulang. Belajar memanfaatkan dengan baik tiket pergi dan pulang yang pernah dibeli bersama. Karena kami berdua tetapi tunggal hakikatnya.

Bolu, Turki


Komentar

  1. Kalo kita mau kuliah di Turki, apakah kita diwajibkan terlebih dulu utk belajar bahasa Turki???

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer