Mau Menjadi Cantik

 




Menjadi cantik.

Sepertinya saya sudah mulai berfikir definisi cantik itu ketika menginjak kelas akhir SMP. Hidup di lingkungan yang memberikan pengaruh besar terhadap kepercayaan diri, ya pengaruh tidak baik sebenarnya. Sampai saya memegang prinsip, kamu kalau nggak cantik berarti harus cerdas karena untuk dihargai oleh orang lain cuman itu pilihannya.

Pernah pada suatu hari saya disukai oleh seseorang. Dia bilang gini “Kamu pinter banget, makanya aku suka.” Pulang ke rumah langsung saya langsung cerita ke Bunda

“Bunda, kalau orang bilang begitu berarti dia cuman mau manfaatin aku aja, kan? Mau nyontek dan nyalin PR?” kataku kesal. Bunda cuman balas dengan senyum dan bilang kalau menurutku begitu jangan dibuka hatinya. Ikuti kata hati katanya. Padahal saya gak pernah pake hati.

Dan terus saja begitu, kalau ada yang bilang suka, belum pernah ada yang pakai alasan karena saya cantik. Kalau nggak pakai kata kamu pinter, ya kamu menarik, kamu lucu, dan lain-lain. Sampai pada suatu ketika saya kesal, gara-gara temanku yang paling cantik satu sekolahan katanya. Dia dapat nilai 100! Tapi saya dapat nilai 88 karena katanya tulisan saya jelek. Gurunya laki-laki, tapi harusnya kan nggak kayak gitu. Beliau selalu memuji temanku yang cantik, rambutnya bagus, badannya tinggi, dan sebagainya.

Saya yang ambisius sekali pada saat itu, apapun akan saya lakukan supaya jadi cantik. Sepertinya masalah inner beauty  jarang ada yang percaya bahkan mungkin tidak ada.

Masuk SMA, perkara cantik ini emang bikin saya sakit. Ada kali ya, ngga jajan buat ngumpulin duit beli perawatan wajah. Sekarang ngerti kenapa dari 36 kg saya tidak pernah lebih dari pada itu. Apalagi SMA itu jaman-jamannya anak hits ya. Saya sering sekali memperhatikan bagaimana cara mereka berdandan, berpakaian, dan berbicara.

Lalu, saya juga ikutan buat akun Instagram. Melihat komentar temen-temen disuatu foto yang sering sekali kita lihat

“Ini manusia apa bidadari, sih.”

“MasyaAllah gakauat cantik banget.”

Terus balasannya :

“Aamiin, makasih kamu lebih xoxo.”

Dan puncaknya mungkin ketika saya suka dengan seseorang untuk pertama kalinya. Saya pikir perkara suka itu harusnya personal ya. Kita sendiri yang memutuskan untuk ambil tindakan selanjutnya dari perasaan suka ini. Masalahnya, orang yang saya suka ini lebih dengerin temennya daripada kata hatinya sendiri. Dia dibilang nggak bisa bedain yang mana yang cantik sama yang nggak. Yang dimaksud itu ya saya. Kemudian dijodohkan dengan orang lain.

Titik dimana saya merasa capek. Mungkin harus merubah diri. Sampai terkadang untuk bercermin saja  malas. Lalu, pelan-pelan mencoba yang namanya “skincare”. Maskeran, luluran, berhenti pramuka, dan berhenti main futsal. Di rumah, adek saya yang laki-laki suka ngeledekkin “Pasti lagi suka sama cowok ya.”.

Efeknya baru terlihat setelah beberapa bulan, setelah bulan Ramadhan. Dari situ baru deh ada yang mengerimi pesan ke saya, bilang saya putihan dan tambah cantik. Oh, jadi cantik itu harus berkulit terang, ya. 

Ketika teman dekat saya datang ke rumah, kita banyak cerita. Perihal cantik harusnya nggak perlu diambil pusing (padahal ya tetap sampai saat ini masih merasa insecure). Tentang bagaimana dia menerima diri saya lebih dari saya sendiri. Memang manusia itu nggak pernah cukup.

Bagaimana saya bisa merasa tidak insecure, kalau di lingkungan saya, orang yang menurut banyak orang itu cantik, bahkan bisa memilih mau berpasangan sama siapa dan kalau suka duluan pasti orang yang disuka juga suka balik, dan setiap kali ada acara/kegiatan, orang-orang suka sekali mengurutkan “5 cewek paling cantik”. Seakan – akan value kita cuman bisa dilihat dari wajah. Diberi jabatan karena cantik, jadi bisa dijadikan bahan pelipur lara. Terus, selama ini kita sekolah tinggi-tinggi buat apa? Berproses untuk menjadi pribadi yang lebih baik juga kadang tidak diperhitungkan.

Harusnya ngga perlu begitu, ya. Saya sering masuk dalam kepengurusan untuk membuat mereka sadar sebenarnya, selain paras cantik, intelektual, dan berakhlak. Itu yang perlu jadi pertimbangan.

Sampai saya ketemu seseorang yang mengingatkan saya, kamu adalah kamu. Cukup jadi kamu, ngga perlu jadi orang lain. “Kamu itu menarik dan cerdas, pantes aja orang-orang mau jadi kamu. Terus, kamu ngapain mau jadi orang lain?” 

Jadi, sekarang nggak mau ambil pusing masalah menjadi cantik. Kalau dia tidak bisa menerima dan menghargai sebagaimana kita, just let them go. Harus percaya, nanti akan ketemu dengan orang yang tepat.

Dikontrol ya, rasa insecure-nya. Jangan sampai jadi nyakitin diri sendiri. Kalau dia nggak bisa suka kamu, bukan karena kamu kurang. Jadi, bukan salahmu. Bukan salah dia juga. Kan perasaan itu anugrah dari Tuhan dan semesta memang sering bekerja tidak sesuai ekspektasi kita. Biasalah.

Selamat berproses!


Komentar

Postingan Populer